CO.ID,
Oleh Selamat Ginting
*
Pada 15 November ini, Korps Marinir TNI Angkatan Laut genap berusia 80 tahun. Dirgahayu Hantu Laut! Hari ini saya sedang di Singapura untuk menghadiri konferensi. Saya ingin memberikan hadiah ulang tahun untuk Korps Marinir melalui tulisan sejarah dalam perspektif politik pertahanan keamanan negara.
Prajurit Marinir dan Ingatan Kolektif Bangsa
Negeri Singa memiliki sejarah kompleks dalam hubungannya dengan Negeri Garuda, Indonesia. Terutama di awal berdirinya Singapura yang sebelumnya menjadi bagian dari Malaysia.
Ingatan kolektif bangsa tentang dinamika hubungan Indonesia-Singapura, menyimpan satu episode diplomasi yang kerap dipandang sebagai catatan samping. Padahal sesungguhnya merupakan “turning point” dalam relasi dua negara. Momentum itu tak lain, kunjungan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew ke makam dua prajurit Marinir, Usman Janatin dan Harun Said, di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata pada 20 Februari 1973.
Peristiwa itu tidak lahir dari ruang hampa. Ia merupakan klimaks dari rangkaian ketegangan politik yang berawal dari pengeboman MacDonald House pada 10 Maret 1965 dan berujung pada eksekusi gantung terhadap dua prajurit Usman dan Harun oleh pemerintah Singapura pada 17 Oktober 1968.
Presiden Soeharto kemudian menetapkan kedua prajurit Marinir itu sebagai Pahlawan Nasional, melalui Keppres RI Nomor 050/TK/1968. Setelah melalui drama politik kedua jenazah diambil dari Singapura dan dikebumikan di TMP Kalibata, Jakarta. Nama keduanya juga diabadikan sebagai nama jalan, yaitu Jalan Prajurit KKO Usman dan Harun di depan Markas Korps Marinir, Jakarta Pusat.
Sebagai peristiwa sejarah, rangkaian ini cukup jelas. Namun sebagai peristiwa politik, maknanya jauh lebih dalam: ia membongkar bagaimana negara memandang loyalitas, bagaimana pemimpin mengelola rasa sakit rakyatnya, dan bagaimana diplomasi di Asia Tenggara dibangun bukan hanya dengan kalkulasi rasional, melainkan juga dengan simbolisme yang kuat.
Dua Narasi Bertabrakan
Usman dan Harun menjalankan tugas negara dalam kerangka Dwikora, sebuah instruksi Presiden RI Soekarno untuk mengganyang apa yang disebut sebagai “Negara Boneka Malaysia”. Dari perspektif Indonesia, keduanya adalah prajurit militer yang melaksanakan perintah dengan penuh dedikasi. Namun bagi Singapura, yang saat itu masih dalam proses membangun stabilitas setelah berpisah dari Malaysia, pengeboman MacDonald House adalah tindakan teror yang menghilangkan nyawa warga sipil.
Di sinilah dua narasi berjumpa namun tidak pernah bertemu. Eksekusi gantung terhadap Usman dan Harun menimbulkan kemarahan luas di Indonesia. Massa membakar bendera Singapura. Hubungan diplomatik membeku. Presiden RI Jenderal Soeharto, yang baru mengonsolidasikan kekuasaan setelah pergantian politik 1965-1966, menghadapi dilema. Bagaimana merespons tindakan Singapura tanpa mengorbankan stabilitas yang tengah ia bangun? Eksekusi itu sinyal Singapura memang negara kecil tidak boleh diremehkan. Tetapi di mata Indonesia, itu adalah luka pada martabat militer dan kedaulatan nasional. Politik identitas negara terbentuk dari momen-momen seperti ini.
Soeharto dan Diplomasi Martabat
Ketika Lee Kuan Yew berkeinginan memperbaiki hubungan dan bertemu Presiden Soeharto pada 1973, Soeharto menetapkan satu syarat moral: sebelum melangkah ke Istana Merdeka, Lee harus lebih dulu melangkah ke makam Usman dan Harun.
Banyak analis memandang syarat itu sebagai bentuk tekanan diplomatik. Tetapi lebih tepat dipahami sebagai ujian moral dan pesan simbolik bahwa Indonesia tidak akan mengkhianati prajuritnya. Sebagai jenderal senior, Soeharto memahami betul psikologi militer.
Sebagaimana psikologi marahnya Angkatan Darat pada Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Menteri Panglima Angkatan Laut Laksamana RE Martadinata mendukung tindakan Angkatan Darat terhadap G30S/PKI.
TNI saat itu adalah pilar utama legitimasi kekuasaan Orde Baru. Soeharto paham, mengabaikan perasaan Korps Marinir dan TNI secara umum akan menjadi blunder politik. TNI wajib kompak di bawah pimpinan presiden yang seorang jenderal petarung.
Ziarah Lee Kuan Yew, dengan Menaburkan Bunga di Pusara Kedua Prajurit Itu
Ziarah Lee Kuan Yew, dengan menaburkan bunga di pusara kedua prajurit itu, merupakan gestur yang luar biasa berani. Ia bukan hanya bertindak sebagai kepala pemerintahan Singapura, tetapi juga sebagai negarawan yang mengakui bahwa sebuah bangsa besar memiliki luka yang harus dihormati.
Dalam diplomasi internasional, simbol lebih kuat daripada pidato. Pada hari itu, simbol keberanian moral mengalahkan semua retorika bilateral.
Lee Kuan Yew “Tunduk” pada Soeharto
Tidak banyak pemimpin yang akan bersedia mengambil risiko politik domestik seperti yang dilakukan Lee Kuan Yew. Di Singapura, langkah itu tidak populer. Bahkan dicerca. Namun Lee memahami sesuatu yang lebih besar. Apa itu? Singapura sebagai negara kecil membutuhkan stabilitas kawasan. Ia tahu bahwa hubungan buruk dengan Indonesia yang militernya sangat kuat di kawasan Asia Tenggara akan memengaruhi keamanan dan ekonomi negaranya.
Ziarah itu, dalam kacamata geopolitik, adalah kalkulasi strategis. Mengorbankan sedikit kebanggaan internal demi membangun fondasi masa depan kawasan. Cuma yang memahami politik akan paham langkah catur politik. Langkah itu berhasil. Setelah 1973, ketegangan mereda. Kemitraan ekonomi berkembang. Hubungan pertahanan diperkuat. ASEAN, yang baru berusia enam tahun saat itu, memperoleh momentum diplomatik yang penting.
Makam sebagai Arena Diplomasi
Ada ironi sekaligus keindahan di sini TMP Kalibata. Sebuah makam, empat para pahlawan beristirahat setelah kematian, justru menjadi arena penting bagi diplomasi hidup antardua negara. Di sanalah dua pemimpin Asia Tenggara mengakui sesuatu yang sering dilupakan oleh politik modern.
Negara dibangun tidak hanya oleh para pengambil keputusan, tetapi juga oleh mereka yang mati dalam menjalankan tugas. Gestur itu tidak menghapus sejarah, tidak membalikkan luka, tidak mengubah fakta Gedung MacDonald House menelan korban sipil. Tetapi, ia mengubah masa depan hubungan Indonesia-Singapura. Politik, pada akhirnya, bukan hanya soal siapa benar atau siapa salah, tetapi siapa yang berani mengulurkan tangan meski pernah digigit.
Kesimpulan
Di era ketika politik identitas kembali menguat, ketika negara-negara mudah tersinggung oleh sentuhan simbolik sekecil apapun, peristiwa 1973 ini menawarkan pelajaran penting:
- Diplomasi yang tulus memerlukan keberanian politik. Lee Kuan Yew mengambil risiko domestik. Soeharto mengambil risiko marwah diplomasi. Dan keduanya menang.
- Simbol dan martabat bangsa tidak bisa dinegosiasikan, tetapi bisa dihormati.
- Hubungan antarnegara bukan hanya kontrak, tetapi juga emosi kolektif
- Menghormati prajurit yang gugur adalah bahasa universal yang dipahami semua bangsa.
Di antara sekian banyak peristiwa yang membentuk wajah Asia Tenggara modern, ziarah sederhana di TMP Kalibata pada 20 Februari 1973 itu tetap menjadi salah satu contoh terbaik, bagaimana luka sejarah tidak harus diwariskan. Rekonsiliasi, betapapun pahitnya, selalu dimulai dari langkah kecil menuju makam yang diam.
- Kadang-kadang, diplomasi dunia yang keras itu lunak oleh hal yang paling manusiawi: penghormatan.
Penulis adalah pengamat politik dan militer Universitas Nasional (Unas)










