Kebijakan Fiskal Nasional: Tantangan dan Harapan dari Nusa Tenggara Timur
Kebijakan fiskal nasional tidak hanya sekadar urusan teknis anggaran. Lebih dari itu, kebijakan ini menjadi representasi ideologi kebangsaan bahwa Indonesia harus tumbuh bersama, berbagi beban secara adil, dan memastikan tidak ada daerah yang tertinggal hanya karena kekurangan sumber daya alam. Fiskal seyogyanya sebagai medium gotong royong, bukan sekadar instrumen pembagian dana.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, wajah kebijakan fiskal Indonesia mencerminkan sebuah ironi. Alih-alih mempersempit ketimpangan antara daerah kaya dan miskin, kebijakan yang berlaku justru memperlebar jurang fiskal. Nusa Tenggara Timur menjadi contoh paling gamblang sebagai provinsi yang selama ini berjuang dengan keterbatasan PAD dan minimnya dana bagi hasil sumber daya alam, justru harus menerima kenyataan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima tidak lebih besar dari daerah kaya.
Data yang Mengungkap Ketimpangan
Data dari 22 kabupaten/kota di NTT jika dibandingkan dengan 28 daerah berkapasitas fiskal tinggi menunjukkan fakta mengejutkan karena besaran DAU hampir sama. Sebuah realitas yang bertolak belakang dengan filosofi DAU sebagai instrumen solidaritas nasional. Jika semangat pemerataan yang dipegang masih sama, seharusnya daerah berkapasitas fiskal rendah mendapat porsi jauh lebih besar, karena kebutuhan pembiayaan pelayanan dasar jauh lebih besar dibanding kapasitas fiskal yang tersedia.
Lebih ironis lagi, daerah penghasil minyak, gas, dan mineral menerima limpahan Dana Bagi Hasil (DBH) yang sangat besar, tetapi tetap memperoleh alokasi DAU yang setara dengan daerah miskin fiskal. Situasi ini membuat ketimpangan dilegitimasi secara sistemik melalui regulasi yang berlaku.
Perubahan Undang-Undang 1 Tahun 2022
Perubahan mendasar dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 semakin memperparah situasi. Dengan dihapusnya komponen alokasi dasar, DAU tidak lagi menyediakan ruang fiskal bagi daerah untuk membiayai pembangunan di luar belanja pegawai. Kondisi ini menyebabkan DAU bagi daerah berkapasitas rendah seperti NTT hanya cukup untuk memenuhi belanja pegawai, termasuk penambahan beban berupa gaji P3K dan tunjangan peningkatan penghasilan yang ditetapkan pemerintah pusat pada tahun 2026.
Akibatnya, pemerintah daerah tidak lagi memiliki kapasitas memadai untuk melakukan terobosan peningkatan PAD ataupun memperbaiki layanan publik dasar. Sementara itu, jurang lebar terjadi karena daerah kaya DBH tetap menerima dukungan pembangunan fisik dari pemerintah pusat.
Keadilan Fiskal yang Terabaikan
Keadilan fiskal yang seharusnya menjadi roh kebijakan nasional justru tergeser oleh logika ekonomi politik yang memberikan privilage pada daerah dengan sumber daya melimpah. Ketika daerah miskin fiskal berjuang mempertahankan layanan minimal, daerah kaya melaju kencang dengan roda fiskal yang tidak pernah berhenti digerakkan oleh berbagai sumber pendanaan.
Situasi ini mendorong munculnya tuntutan wajar dari NTT untuk menata ulang struktur kebijakan fiskal nasional. Provinsi ini tidak sedang menuntut keistimewaan, tetapi menagih hak yang telah lama dijanjikan sistem otonomi daerah untuk mendapatkan porsi fiskal yang adil, proporsional, dan sesuai kebutuhan nyata.
Perlu Revisi Regulasi dan Penyempurnaan Kebijakan
Keadilan fiskal bukan sesuatu yang diberikan karena belas kasihan, tetapi fondasi dasar yang melekat dalam semangat konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam konteks ketimpangan yang telah berlangsung bertahun-tahun, NTT menegaskan pentingnya adanya dana afirmasi keberimbangan fiskal sebagai kompensasi atas ketidakadilan yang terus berulang.
Dana ini diperlukan bukan hanya untuk menutup kekurangan jangka pendek, tetapi untuk mengembalikan kemampuan daerah dalam menjalankan pembangunan secara bermakna. Di sisi lain, reformasi regulasi juga menjadi kebutuhan mendesak seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 perlu dikaji ulang secara menyeluruh karena telah mengubah filosofi dasar hubungan fiskal antara pusat dan daerah yang bergeser dari prinsip pemerataan menuju logika kompetisi fiskal yang tidak setara.
Langkah-Langkah Menuju Keadilan Fiskal
Reformasi tersebut harus dimulai dari pemulihan fungsi DAU sebagai instrumen ideologis agar tidak dipandang sebagai formula teknokratis. Penghitungan kebutuhan fiskal harus menggunakan variabel nyata seperti biaya pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) daripada variabel indikatif yang kabur. Misalnya, infrastruktur jalan harus menjadi bagian dari perhitungan kebutuhan dasar, sehingga indeks kemahalan tidak lagi berdiri sendiri tanpa hubungan langsung dengan kebutuhan riil daerah.
Dalam jangka panjang kejelasan satuan biaya, integrasi urusan wajib, dan pemisahan tegas antara DAU dan DAK menjadi kunci mengembalikan rasionalitas kebijakan fiskal.
Kesimpulan
Paradoks ini seharusnya menempatkan desentralisasi sebagai utopia ideal yang menggambarkan kepercayaan negara kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Jika terjadi hambatan, akar persoalannya ada pada lemahnya sistem pendampingan, pengawasan, dan pengendalian yang dilakukan oleh pusat. Kembalinya naluri resentralisasi hanya akan memperlemah daerah dan mengingkari semangat reformasi pemerintahan yang telah dibangun sejak dua dekade lalu.
Tidak mungkin republik ini berkembang kuat bila daerah-daerah yang lemah dibiarkan berjalan sendiri tanpa dukungan fiskal yang memadai. NTT sebagai salah satu provinsi dengan kapasitas fiskal paling rentan mengajukan suara kritis bukan untuk mendebat negara, melainkan untuk mengingatkan bahwa prinsip keadilan fiskal adalah fondasi persatuan. Ketika fiskal gagal memantulkan prinsip keadilan, maka yang retak bukan hanya sistem anggaran tetapi juga kepercayaan publik terhadap janji-janji konstitusi.
Inilah saatnya pemerintah pusat melihat kembali cermin fiskal yang semakin pudar untuk mengembalikan Indonesia pada jalur keadilan dan gotong royong yang sejati. Karena hanya dengan itu, amanat kesejahteraan umum dapat diwujudkan bagi seluruh rakyat termasuk membangun masa depan dari tanah Nusa Tenggara Timur.











