CIPTAWARTA.COM – Penyandang disabilitas masih mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), pada tahun 2023, hanya sekitar 22,97 juta penyandang disabilitas di Indonesia yang memiliki pekerjaan, atau sekitar 8,5% dari total populasi. Namun, hanya sebagian kecil dari mereka yang dapat bekerja di sektor formal. Stigma sosial, kurangnya fasilitas pendukung, dan keterbatasan keterampilan seringkali menjadi halangan utama.
Rafli, seorang pekerja di sebuah restoran cepat saji di Tegal, Jawa Tengah, adalah salah satu penyandang disabilitas yang beruntung dapat bekerja di sektor formal. Sebagai seorang tunarungu, pekerjaan yang ia miliki merupakan suatu pencapaian besar yang ia raih melalui perjuangan panjang. “Orang tua saya adalah pendukung terbesar. Mereka bangga karena saya dapat bekerja. Saya sangat bersyukur dengan pekerjaan ini, karena dapat mandiri, memiliki penghasilan, dan membantu orang tua,” ujarnya dalam keterangannya, dikutip pada hari Senin (2/12/2024).
Selain Rafli, Romi, seorang karyawan tunadaksa di Pamulang, Tangerang Selatan, juga memiliki kisah perjuangan yang sedikit berbeda. Ia telah bekerja di restoran cepat saji selama bertahun-tahun sebelum kecelakaan mengubah hidupnya. Salah satu tangannya harus diamputasi, menjadikannya seorang tunadaksa. “Setelah kecelakaan, saya baru merasakan kesulitan menjadi penyandang disabilitas. Banyak hal fisik yang dulu dapat saya lakukan, sekarang menjadi terbatas. Namun, saya bersyukur karena perusahaan tempat saya bekerja tetap menerima saya dan memberikan dukungan. Hal ini memberi saya semangat untuk terus berjuang,” ujarnya.
Kisah Rafli dan Romi adalah beberapa cerita dari banyaknya penyandang disabilitas yang ada di masyarakat. Meskipun keduanya terbilang beruntung karena dapat bekerja di sektor formal, kenyataannya di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Menurut laporan Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia 2022 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas pekerja disabilitas, atau 0,81% dari total penduduk yang bekerja dengan disabilitas, berprofesi sebagai wirausaha. Sementara itu, hanya 0,23% pekerja disabilitas yang bekerja secara formal dengan status buruh, karyawan, atau pegawai.
Pekerjaan yang layak bagi penyandang disabilitas seperti Rafli dan Romi bukan hanya sebagai sumber penghasilan, tetapi juga sebagai lambang kepercayaan dan peluang untuk berkontribusi. Hal ini juga memberikan mereka rasa bangga dan percaya diri. “Saya berharap semakin banyak perusahaan yang membuka pintu bagi penyandang disabilitas. Kami dapat bekerja sebaik orang lain, asalkan diberikan kesempatan,” ujar Romi.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Rafli, yang berharap penerimaan masyarakat terhadap penyandang disabilitas semakin meningkat. “Masih sedikit tempat kerja yang dapat menerima orang seperti saya. Semoga di masa depan, tidak ada lagi perbedaan berdasarkan keterbatasan fisik,” harapnya.