ciptawarta.com – Tingkat golput pada Pilkada 2024 diperkirakan lebih besar daripada Pilkada 2019. Menurut data yang dirilis oleh LSI Denny JA, rata-rata tingkat golput di 7 provinsi terbesar di Indonesia mencapai 37,63%, sementara pada Pilkada 2019 hanya sebesar 31,40%, atau mengalami kenaikan sebesar 6,23%.
“Dengan meningkatnya angka golput, dapat disimpulkan bahwa demokrasi kita telah terluka. Ini merupakan suara bisu dari mereka yang tidak lagi berharap, tidak percaya, dan melihat pemilu sebagai cahaya di ujung lorong,” ujar Denny Januar Ali, pendiri LSI Denny JA, saat menganalisis hasil quick count Pilkada 2024 pada Rabu (4/12/2024).
Dalam rangka memantau pelaksanaan Pilkada 2024 pada 27 November 2024, LSI Denny JA melakukan quick count di 7 provinsi terbesar di Indonesia, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta.
Hasil quick count menunjukkan tingkat partisipasi pemilih yang beragam. Pilkada Jabar mencatat partisipasi pemilih sebesar 63,02%, sedangkan tingkat golput mencapai 36,98%. Sementara itu, Jawa Timur mencatat partisipasi pemilih sebesar 65,32% dan golput sebesar 34,68%. Jawa Tengah mencatat partisipasi pemilih sebesar 70,52% dan golput sebesar 29,48%. Banten mencatat partisipasi pemilih sebesar 63,90% dan golput sebesar 36,10%.
Selanjutnya, Sumatera Utara mencatat partisipasi pemilih sebesar 53,59% dan golput sebesar 46,41%. Sulawesi Selatan mencatat partisipasi pemilih sebesar 70,16% dan golput sebesar 29,84%. Sementara itu, DKI Jakarta mencatat partisipasi pemilih sebesar 53,09% dan golput sebesar 46,91%.
“Dari data ini, DKI Jakarta memiliki tingkat golput tertinggi (46,91%), sedangkan Sulawesi Selatan memiliki tingkat golput terendah (29,84%),” tambah Denny JA.
Hasil riset LSI Denny JA juga mengidentifikasi empat faktor utama yang mendorong tingginya tingkat golput. Pertama, kelelahan pemilu. Pemilu Serentak 2024 yang meliputi Pilpres dan Pileg telah menyita energi masyarakat, sehingga pilkada kurang menarik perhatian. Kedua, minimnya pesona kandidat. Kandidat yang berlaga dinilai kurang memiliki daya tarik, terutama di wilayah seperti DKI Jakarta dan Sumatera Utara.
Ketiga, rendahnya kepercayaan pada kepala daerah. Semakin banyak masyarakat yang merasa kebijakan kepala daerah tidak terlalu berpengaruh pada kehidupan mereka, dibandingkan keputusan pemerintah pusat. Keempat, meningkatnya apatisme politik. Polarisasi politik, korupsi, dan gaya hidup mewah pejabat publik semakin memupuk sikap apatis masyarakat terhadap politik.